STARUNLEASH – Di masa pasca-Perang Dunia II, ketika gelombang dekolonisasi melanda berbagai belahan dunia, Indonesia memposisikan dirinya secara strategis dalam peta politik global di bawah kepemimpinan Presiden pertamanya, Ir. Soekarno. Sebagai negara yang baru saja melepaskan diri dari cengkeraman kolonial dan berupaya mendefinisikan identitas dan kedaulatannya sendiri, Indonesia mengambil langkah berani dengan mendekatkan diri ke Uni Soviet. Artikel ini bertujuan untuk menelaah hubungan antara Soekarno dan Uni Soviet, serta membahas motivasi, keuntungan, dan akibat dari aliansi ini bagi Indonesia dan konstelasi geopolitik internasional.
Soekarno, yang berprofesi sebagai arsitek sebelum terjun ke dunia politik, merupakan tokoh yang memainkan peran penting dalam memimpin Indonesia meraih kemerdekaannya dari Belanda. Usai memproklamasikan kemerdekaannya pada tahun 1945, ia segera menghadapi tantangan besar dalam membangun fondasi sebuah negara yang luas dan penuh keberagaman. Berada di antara persaingan global antara blok barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan blok timur yang dipimpin oleh Uni Soviet, Soekarno memilih untuk mengambil jalur netral dan aktif dalam politik luar negerinya, bukan bergabung dengan salah satu blok.
Memasuki awal dekade 1950-an, Soekarno mulai meningkatkan hubungan dengan Uni Soviet. Era ini ditandai dengan peningkatan kunjungan kenegaraan dan hubungan diplomatik yang lebih erat antara kedua negara. Soekarno tertarik pada model pembangunan ekonomi Soviet yang dipandang dapat membawa industrialisasi dengan cepat, serta adanya dukungan ideologis dan militer yang dianggap dapat memperkuat kedudukan Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berkecimpung dalam gerakan non-blok.
Uni Soviet memberikan bantuan ekonomi dan militer yang besar kepada Indonesia. Proyek-proyek infrastruktur seperti pembangunan pabrik semen di Aceh, pabrik gula di Sumatera, serta pengembangan Palapa, sistem komunikasi satelit nasional, menjadi salah satu manifestasi dari hubungan bilateral yang semakin menguat. Dalam bidang militer, Uni Soviet memberi bantuan berupa alat-alat pertahanan termasuk pesawat tempur dan kapal selam, yang secara signifikan meningkatkan kekuatan pertahanan Indonesia.
Soekarno menggunakan kedekatannya dengan Uni Soviet untuk mengangkat posisi Indonesia di arena internasional. Konferensi Asia-Afrika yang diadakan di Bandung pada tahun 1955 mencatatkan Indonesia sebagai salah satu pemimpin gerakan non-blok dan negara-negara yang baru saja merdeka. Kedekatan dengan Uni Soviet memberi Soekarno kesempatan untuk menunjukkan kemandirian Indonesia dari pengaruh barat dan menjadi suara berpengaruh dalam politik global.
Di dalam negeri, hubungan erat dengan Uni Soviet meningkatkan dukungan bagi Soekarno di kalangan partai-partai kiri dan kelompok sosialis. Namun, hal ini juga mendatangkan kekhawatiran dari kelompok anti-komunis, termasuk dalam militer, yang melihat potensi ancaman terhadap stabilitas politik nasional. Pada tataran internasional, posisi Indonesia menjadi semakin penting dalam persaingan antara blok timur dan barat, yang kadang-kadang menempatkan negara ini dalam situasi yang rumit selama Perang Dingin.
Persahabatan antara Ir. Soekarno dan Uni Soviet berperan penting dalam sejarah kebijakan luar negeri Indonesia. Kedekatan ini membantu Indonesia mendapat dukungan yang dibutuhkan untuk pembangunannya, serta menempatkan Indonesia dalam posisi yang strategis selama Perang Dingin. Meskipun hubungan tersebut mengalami fluktuasi, terutama menjelang akhir masa pemerintahan Soekarno, pengaruhnya terhadap pembangunan dan kebijakan domestik Indonesia masih terasa sampai sekarang. Pengalaman ini mengajarkan tentang pentingnya strategi diplomasi yang berimbang dan berorientasi pada kepentingan nasional untuk menegakkan kedaulatan dan memajukan perekonomian di panggung internasional.