Penyebab Konflik Israel Dan Palestina Tidak Bisa Ditengahi Negara Internasional Lainnya

STARUNLEASH – Perseteruan yang berlarut-larut antara Israel dan Palestina adalah salah satu dilema global yang paling rumit dan berkelanjutan. Situasi di wilayah konflik sering kali memunculkan pertanyaan seputar rendahnya efektivitas tanggapan komunitas internasional atas tindakan Israel terhadap Palestina. Berikut ini akan kita bahas faktor-faktor yang berkontribusi atas kondisi tersebut.

Alasan kunci di balik kondisi ini seringkali adalah adanya rintangan politik dan diplomatik. Israel menjalin ikatan yang kuat dengan beberapa negara berpengaruh, khususnya Amerika Serikat, yang sering kali memanfaatkan hak veto di Dewan Keamanan PBB untuk menolak resolusi yang dipandang merugikan Israel. Keterlibatan langsung dalam konflik ini juga dihindari oleh sejumlah negara karena faktor hubungan bilateral, pertimbangan geopolitik, dan pertimbangan atas konsekuensi lebih luas di kawasan tersebut.

Peranan hukum internasional sangat krusial dalam mengatasi pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan perang. Namun, aplikasi hukum internasional ini kerap terkendala oleh perbedaan interpretasi dan politisasi isu. Terdapat tuduhan pelanggaran yang dilakukan Israel, seperti pembangunan permukiman ilegal dan penggunaan kekuatan secara berlebihan, namun pihak Israel mengklaim tindakan mereka berada dalam kerangka hukum sebagai bentuk pembelaan diri dari ancaman.

Media massa mempunyai pengaruh besar dalam membentuk persepsi publik dan narasi seputar konflik ini. Pemberitaan yang tidak seimbang dan terbatasnya akses wartawan ke daerah konflik kerap kali mengakibatkan penyajian informasi yang tidak komprehensif atau berat sebelah. Hal ini mempengaruhi pemahaman global mengenai situasi aktual dan bisa menghambat keinginan untuk tindakan internasional.

Banyak negara bertindak atas dasar kepentingan nasional mereka. Hubungan ekonomi dan strategis dengan Israel, termasuk perdagangan, investasi, dan kerjasama militer, membuat negara-negara tersebut berhati-hati dalam mengeluarkan kritik atau tindakan terhadap Israel. Kepentingan ekonomi ini seringkali mengambil prioritas daripada kepedulian terhadap hak asasi manusia atau hukum internasional.

PBB dan lembaga internasional lainnya menjadi tempat dimana isu hak asasi manusia dapat diangkat. Namun, struktur kekuasaan di dalam lembaga-lembaga tersebut sering kali membatasi kapasitas mereka untuk bertindak. Lobi dan diplomasi yang terjadi di balik layar juga bisa mempengaruhi hasil diskusi, terutama jika melibatkan sekutu dari salah satu anggota permanen Dewan Keamanan.

Isu konflik Israel-Palestina dan tindakan Israel terhadap Palestina merupakan topik yang sangat sensitif dan kompleks. Beragam aspek politik, hukum, ekonomi, dan media memainkan peran dalam menciptakan reaksi internasional yang seringkali tampak lambat dan kurang memadai. Pencarian solusi atas masalah ini membutuhkan pendekatan yang lebih seimbang, transparan, dan adil yang menghormati hukum internasional serta hak asasi manusia. Peran serta komunitas internasional yang lebih efektif dan netral sangat diperlukan dalam upaya menciptakan perdamaian dan keadilan bagi semua pihak yang terlibat.

6 Orang Tewas Setelah Israel Serang Wilayah Tepi Barat Palestina

STARUNLEASH – Hari Minggu tanggal 7 Januari 2024, serangan udara yang dilakukan oleh militer Israel di kawasan Tepi Barat milik Palestina mengakibatkan kematian enam individu akibat ledakan bom yang dilancarkan.

“Serangkaian pengeboman oleh Israel telah merenggut nyawa enam warga di Jenin, wilayah Palestina. Sampai saat ini, informasi mengenai kerusakan tambahan atau korban lainnya belum tersedia,” demikian pernyataan dari Kementerian Kesehatan yang dioperasikan oleh Pemerintahan Palestina.

Laporan dari agensi berita Palestina yang resmi, Wafa, menyebutkan bahwa secara mendadak Israel telah mengirim pasukan militer secara besar-besaran pada pagi hari Minggu tersebut. Pasukan tersebut diketahui memasuki Jenin dan melancarkan serangan.

Tindakan kekerasan di Tepi Barat mengalami eskalasi pasca serangan oleh Hamas ke Israel pada tanggal 7 Oktober 2023 yang berujung pada kematian sekitar 1.140 orang. Sejak periode tersebut, Israel gencar melancarkan serangan ke Palestina dengan peluncuran misil dan operasi militer darat yang hingga kini telah merenggut nyawa tidak kurang dari 22.722 orang di Gaza, Palestina.

Diketahui pula, mayoritas korban serangan Israel adalah perempuan dan anak-anak. Akibat aksi militer yang tak terkendali ini, Israel mendapat kecaman dari berbagai negara internasional seiring dengan jumlah korban yang terus meningkat dan berpotensi menghancurkan kawasan Gaza.

Tak hanya di Gaza, serangan Israel juga terjadi di wilayah Tepi Barat, Palestina. Terdata, sedikitnya 327 warga Palestina telah meninggal sejak konflik bersenjata ini meletus. Kota Jenin beserta kamp pengungsian di dalamnya berulang kali menjadi sasaran serangan oleh Israel.

Lebih lanjut, Israel memerintahkan evakuasi 22 rumah sakit di Gaza, sebuah langkah yang dinilai tidak berperikemanusiaan dan bertentangan dengan hukum internasional. Banyak korban yang tidak mendapat perawatan medis meninggal akibat penutupan fasilitas kesehatan ini oleh Israel.

Kini, harapan dicurahkan oleh berbagai negara, termasuk Indonesia, yang menginginkan PBB melalui Dewan Keamanan untuk mengadakan rapat darurat guna mengakhiri konflik tersebut.

Meskipun Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres telah mengajak untuk gencatan senjata demi keamanan distribusi bantuan ke Gaza, upaya perdamaian melalui Dewan Keamanan PBB terus dihadapkan dengan tantangan. Namun, komunitas internasional tidak dapat membiarkan konflik ini berlarut dan harus aktif membantu menciptakan perdamaian yang berkelanjutan di Gaza. ‘Solusi Dua Negara’ dianggap sebagai solusi paling layak, yang menjamin pemenuhan hak-hak warga Palestina yang saat ini terus menderita kehilangan nyawa warga tak berdosa.

Solusi Dua Negara, yang juga dikenal sebagai solusi damai antara dua bangsa, adalah opsi bagi kedua negara tersebut untuk berdiri berdampingan, dengan Palestina dan Israel masing-masing berdaulat, terpisah oleh Sungai Yordan.